DESEMBER sepertinya ‘bulan kelabu’ bagi nelayan. Bagai sudah rutinitas, setiap bulan 12 itu gelombang besar atau angin barat harus dihadapi mereka saat hendak mencari nafkah demi menghidupi keluarga.
Musim ombak besar kadang membuat nyali nelayan ciut melaut. Mereka memilih menyandarkan kapal. Selain berisiko tinggi, bila melaut pun tangkapan ikannya juga sedikit atau tak sebanding dengan tenaga dan biaya yang dikeluarkan.
Ujungnya bisa ditebak. Para nelayan menghidupi keluarga terpaksa dengan cara utang dan utang. Malah ada pula yang terperangkap jeratan rentenir.
Gelombang tinggi yang sering disebut para nelayan angin barat adalah kondisi yang sudah pasti terjadi, karena memang siklus tahunan. Musim pacekilik pun melanda.
Nasib ini dialami para nelayan Muara Angke, Penjaringan, Jakarta Utara. Memasuki bulan itu, termasuk Desember banyak di antara mereka yang hidup dengan cara gali lubang tutup lubang alias tangsani (utang ke sana utang ke sini).
Meski malu, nelayan terpaksa melakukan hal itu lantaran pendapatannya ngedrop, bahkan kadang minus. Biaya yang dikeluarkan melaut lebih besar dibandingkan dengan nilai ikan hasil tangkapan.
Sumarjo, nelayan Muara Angke, misalnya. Ia mengaku bila melaut harus merogoh kocek minimal Rp50 ribu untuk membeli solar dan bekal, tetapi hasil melautnya nilainya sering lebih kecil dari modal yang dikeluarkan.
Para stakeholder tentu saja tidak boleh membiarkan nasib memprihatinkan nelayan Muara Angke. Baik Pemprov DKI Jakarta maupun pemerintah pusat segera turun tangan membantu nasib mereka.
Langkah instan bisa saja Pemprov DKI Jakarta maupun pemerintah pusat memberikan bantuan pangan dan kebutuhan hidup lainnya sepanjang angin barat melanda. Tujuannya memutus para nelayan gali lubang tutup lubang dalam menghidupi keluarga.
Dan langkah berikutnya, agar nelayan Muara Angke tak gampang goyah saat musim barat, mereka bisa disiapkan menjadi nelayan budidaya. Atau berikanlah bekal keterampilan lainnya. @*