Oleh Harmoko
BUNG Hatta pernah berpesan kepada kita semua: Jatuh bangunnya negara ini, sangat tergantung dari bangsa ini sendiri. Makin pudar persatuan dan kepedulian, Indonesia hanyalah sekadar nama dan gambar seuntaian pulau di peta.
Pesan sang proklamator ini sarat akan makna dalam konteks kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara. Pesan ini pun bukan untuk masanya, bukan berlaku surut, tetapi untuk sepanjang masa, jika negeri ini ingin tetap ada.
Poin penting dari pesan Mohammad Hatta, wakil presiden pertama Republik Indonesia ini, yakni bagaimana kita terus menjaga persatuan dan kepedulian.
Persatuan berarti bersatunya beragam corak – beraneka ragam latar belakang menjadi satu kesatuan yang utuh.
Persatuan bangsa Indonesia adalah menyatunya beragam komponen bangsa tanpa mempersoalkan latar belakang agama, suku, daerah, golongan, adat dan budaya serta status sosial ekonominya. Persatuan merupakan wujud dari bersatunya macam – macam corak yang beraneka ragam menjadi satu kebulatan yang utuh dan serasi.
Sedangkan kepedulian adalah sikap memperhatikan, proaktif, adanya keberpihakan terhadap kondisi yang terjadi di lingkungan sekitarnya.
Kepeduliaan terhadap lingkungan sekitar, peduli kepada nilai – nilai persatuan menjadi penting ditanamkan sejak dini kepada generasi era kini. Ini untuk menciptakan pemahaman bahwa keberagaman bangsa kita sebuah keniscayaan yang tak perlu lagi diperdebatkan, apalagi dipertentangkan.
Keberagaman hendaknya kita maknai sebagai berkah, bukan dijadikan pemicu masalah. Keberagaman bukan untuk menjauhkan diri, tetapi pemacu untuk saling merekatkan diri membangun kebersamaan.
Keberagaman ini sebuah kekayaan tak ternilai harganya, di mana dunia telah mengakuinya.
Jangan pungkiri kenyataan bahwa Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang ditaburi oleh pulau-pulau yang indah ( lebih dari 17.500 pulau), yang memiliki keberagaman budaya, adat istiadat, serta potensi ekonomi yang dapat digali secara maksimal.
Itulah sebabnya negeri kita disebut juga sebagai Nusantara – “nusa” berarti pulau atau kesatuan kepulauan, sedangkan “antara” berarti dua benua dan dua samudera.
Negeri kita memiliki keunikan karena terdapat lebih dari 1.300 suku dan etnik serta lebih dari 700 bahasa daerah dari Sabang hingga Merauke. Itulah kekayaan Indonesia sebagai bangsa maritim dan negara kepulauan.
Kekayaan nusantara ini patut dan harus kita jaga. Keberagaman adat budaya kita lestarikan, potensi ekonomi kita tingkatkan dan berdayakan, persatuan bangsa kita mantapkan.
Konsep “wawasan nusantara” menjadi satu upaya merawat dan menjaga kekayaan tersebut. Istilah ini tidak asing lagi, bahkan wawasan nusantara menjadi satu pelajaran wajib di bangku sekolah dan kuliah.
Secara etimologi wawasan adalah cara pandang. Nusantara adalah kepulauan yang merupakan satu kesatuan, termasuk semua laut dan selatnya.
Wawasan nusantara, menurut telaah para ahli, adalah cara pandang dan sikap bangsa Indonesia mengenai diri dan lingkungan dengan mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa serta kesatuan wilayah dalam menyelenggarakan kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara untuk mencapai tujuan nasional. Berarti di dalamnya terdapat pula bagaimana cara memahami, cara bersikap, bertindak dan berpikir dan bertingkah laku sebagai hasil interaksi proses psikologis, sosial kultural dalam arti yang lebih luas.
Maknanya, tidak sebatas cara memandang, memahami dan berpikir, tetapi dalam berperilaku kehidupan sehari – hari. Mulai dari ucapan hingga perbuatan yang mencerminkan kesatuan dan persatuan bangsa. Itulah wawasan nusantara.
Lantas bagaimana ucapan dan perbuatan yang mencerminkan wawasan nusantara? Jawabnya kembali ke filosofi bangsa sebagai acuannya, yakni Pancasila. Legalitas bangsa sebagai aturan mainnya adalah UUD 1945 dalam bingkai NKRI yang berbineka tunggal ika.
Saling menghormati, menyayangi, mengasihi, memberi, berbagi, dan saling menasehati serta menghargai merupakan perilaku yang sesuai dengan adat, budaya dan filosofi serta legalitas bangsa kita.
Sikap perbuatan seperti ini yang perlu dipupuk dengan menanamkannya sejak dini kepada generasi masa kini.
Bukan sebaliknya mengembangkan saling ejek, saling cerca, saling hina, yang kini cenderung mulai terpapar di dunia maya.
Tidak jarang terungkap aksi saling merendahkan, meremehkan dan menyakitkan. Meski komen seperti itu awalnya terjadi di dunia maya, kita patut mengkhawatirkan akan merambah ke dunia nyata.
Jika sudah demikian, perlu kewaspadaan karena bisa menjadi embrio pudarnya persatuan. Itulah yang sering disebut ancaman intoleransi di masa sekarang yang tengah dihadapi pemuda zaman masa kini.
Salah satu solusi, adalah kembali kepada jati diri bangsa dengan senantiasa tidak melupakan adat budaya. Utamanya turut serta melestarikannya mulai dari ucapan, sikap dan perbuatan sehari – hari, baik di dunia maya, lebih – lebih di dunia nyata.
Mari kita mulai. Bismillah! ( ***)