Oleh S Saiful Rahim
“ASTAGA, dulu aku benar-benar mikir berputar-putar apa sih sebenarnya LRT itu. Sudah nanya ke sana-sini akhirnya ada yang kasi tahu, tapi pake bahasa Inggris. Ya mana gue ngerti,” kata Dul Karung sambil mencomot singkong goreng yang masih kebul-kebul, langsung dicaplok. Sebelum masuk ke warung kopi Mas Wargo, seperti biasa, Dul Karung mengucapkan “assalamu alaykum” dulu.
“Makanya sekolah, Dul. Jangankan bahasa Inggris, kalau dulu kau bersekolah, bahasa isyarat yang cuma goyang-goyang tangan saja kau bisa mengerti,” sambar orang yang duduk di ujung kiri bangku panjang.
“Wah, ni orang rupanya nggak tahu filsafat orang Betawi,” tanggap Dul Karung sambil menatap lawan bicaranya.
“Apa sih filsafat orang Jakarta itu?” sambar entah siapa dan duduk di sebelah mana.
“Yang sekolah itu orang bodoh. Yang kerja orang miskin,” jawab Dul Karung dengan jumawa.
“Masya Allah, filsafat apa kayak gitu?!” sambar orang yang duduk di ujung kanan bangku panjang. Walaupun sudah bicara gaya Betawi, tapi ciri Sumatera Utaranya masih sangat kentara.
“Kok bilang filsafat apa? Coba pikir orang bersekolah itu tujuannya ingin apa? Ingin pandai kan? Nah, orang yang ingin pandai berarti dia belum pandai kan? Kalau belum pandai artinya ya masih bodoh. Begitu juga mereka yang bekerja. Apa tujuannya? Mencari duit kan? Kalau orang masih cari duit, kan berarti dia kurang duit? Ya miskinlah itu dia,” kata Dul Karung yakin dan mencoba meyakinkan. Dan beberapa orang yang mendengar keterangan Dul Karung pun ada yang mengangguk-angguk. Sangat yakin!
“Sudahlah! Jangan bicara, apalagi berdebat, soal filsafat. Itu bukan makanan di warung kopi. Di sekolah tinggi saja filsafat jarang diperdebatkan,” potong orang yang duduk tepat di kanan Dul Karung. Dan orang-orang lain yang ada di warung Mas Wargo banyak yang mengangguk tanda setuju.
“Dul, kalau Bung tidak mengerti kepanjangan LRT dalam bahasa Inggris, dalam bahasa Indonesia pun sudah ada. Namanya “Lintas Rel Terpadu,” kata orang yang duduk di depan Mas Wargo, mencoba menjelaskan.
“Lintas Rel Terpadu?! Apaan tu? Yang aku tahu sih lintas rel beradu. Kelindes! Kayak yang belum lama ini terjadi di Bekasi. Satu keluarga pulang menjenguk famili yang sakit, mobilnya melintas rel ditubruk keretapi. Innalillahi. Berapa orang tu yang celaka dan yang langsung tamat,” kata Dul Karung.
“Iya ya. Seram betul tuh. Korbannya ada yang masih anak-anak lagi,” komentar orang yang duduk tepat di kiri Dul Karung.
“Astaghfirullah. Seram ah! Jangan ngomong mobil ditubruk keretapi gara-gara melintas rel, deh! Kita ngomong soal LRT yang masih serba baru itu aja,” usul orang yang duduk selang dua di kanan Dul Karung.
“Sekarang kan operasional LRT untuk sementara distop dulu. Routenya terlalu pendek, harga karcisnya menjadi mahal. Tentu saja para penumpang nggak mau naik. Mereka merasa rugi. LRTnya juga jadi rugi gara-gara penumpang sepi. Karena itu akan disambung dengan angkutan jenis lain. Biar routenya menjadi panjang dan jauh,” kata orang yang duduk di dekat pintu masuk warung.
“Kalau penumpang merasa rugi karena karcisnya mahal, dan pihak LRT juga rugi lantaran penumpangnya sepi, ganti saja itu kepanjangan LRT menjadi “Lu Rugi Terus,” kata Dul Karung seraya meninggalkan warung kopi Mas Margo, setelah memberi salam tanpa lebih dulu membayar apa yang dimakan dan diminumnya. (***)