BARANG impor dipaksakan masuk, sering bukan kebutuhan rakyat, tapi kebutuhan importir dan pejabatnya. Maka setelah beras, garam, singkong, jagung, daging, serba impor, Menristekdikti M. Nasir hendak mengimpor rektor pula. Dari dulu dunia pendidikan kita selalu dijadikan kelinci percobaan, sehingga muncul pemeo: ganti menteri ganti aturan.
Setiap ada barang impor masuk, yang dirugikan selalu petani dan peternak. Dari beras, garam, singkong, jagung, daging, korbannya selalu mereka. Pemerintah lewat menterinya selalu beralasan, stok barang kurang. Karenanya tak mengherankan, karena alasan ini Kepala Bulog Budi Waseso ribut dengan Mendag Enggartiasto Lukito.
Sekarang bukan lagi daging, beras, karburator dan traktor, tapi rektor pun hendak dimpor. Pemilik gagasan “besar” nan spektakular ini adalah Menristekdikti M. Nasir. Alasannya, agar PTN yang dipimpin rektor tersebut mampu mencapai 100 besar dunia.
Kampus-kampus PTN kita memang belum ada yang sekelas Universitas Berkeley di AS, kalau mahasiswanya berkelahi (tawuran) memang sering. Kita baru bisa bangga bahwa lulusan UI atau UGM banyak yang jadi menteri atau anggota MK, bahkan presiden. Maka Menteri Nasir sangat merindukan, PTN kita bisa bersaing dengan kampus manca negara.
Rupanya pak Menteri sudah putus asa dengan kwalitas rektor domestik. Kenapa tidak dicari atau memang belum ketemu formula yang cespleng sehingga menciptakan rektor berkwalitas tingkat dewa. Padahal sejak era Orde Lama, mutu pendidikan Indonesia selalu hendak ditingkatkan. Tapi konsepnya setiap menteri tak pernah ada yang pas.
Yang terjadi kemudian, setiap ganti menteri PDK atau Mendikbud sekarang, selalu ganti kebijakan. Yang kasihan guru dan peserta didik (dulu siswa atau murid) selalu dijadikan kelinci percobaan. Kurikulum tahun ini saja belum menguasai betul, sudah ganti kurikulum lain. Bahkan jaman Mendikbud Anies Baswedan pernah ada kurikulum oplosan, kayak minuman keras.
Meski sudah dikonsultasikan dengan Presiden Jokowi, DPR menolak dengan keras gagasan besar dan spektakular ini. Wakil Ketua Komisi X DPR Reni Marlinawati menilai, ide M. Nasir ini menunjukkan kurang maksimalnya Kemenristekdikti dalam membentuk sistem pendidikan tinggi yang visioner dan adaptif dengan zaman. Nah lho, mau cari gampangnya saja malah kena “gampar”. – (gunarso ts)