JAKARTA – Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI berpendapat bahwa selama ini pilkada langsung yang dipilih rakyat berbiaya tinggi. Meski begitu, pilkada langsung sebagai bentuk kedaulatan, kebebasan, dan demokrasi, dimana rakyat bisa memilih dan menentukan pemimpinnya sesuai hati nuraninya.
“Pilkada langsung untuk bupati dan walikota itu sesuai UU No. 22 tahun 1999 tentang Otonomi Derah (Otda). Sehingga biaya pilkada pun jadi tanggung jawab daerah. Kalau daerah terbukti tak sanggup, ini yang perlu dipikirkan bersama,” tegas anggota DPD RI dari Sulawesi Tengah, Abdul Rachman Thaha dalam dialog kenegaraan ‘Bisakah Pilkada Majukan Daerah?’ bersama anggota Komisi IX DPR RI F-NasDem Ratu Wulla Talu di Kompleks Parlemen, Senayan Jakarta, Rabu (20/11/2019).
Abdul Rachman, DPD RI mengusulkan revisi UU Otda dan pilkada, agar biaya pilkada dibiayai oleh APBN, dan yang pilkada langsung hanya bupati dan kota, sedangkan Pilgub bisa dipilih DPRD.
Sebagai contoh provinsi Sulawesi Tengah saja untuk KPU dan Bawaslu Rp 180 miliar ditambah keamanan bisa Rp 200 miliar. Kalau ada 10 provinsi butuh Rp 4 triliun. Meski gubernur merupakan perpanjangan dari pemerintah pusat.
“Pilkada langsung dan oleh DPRD sama-sama ada positif negatifnya. Positifnya, rakyat ikut membangun peradaban demokrasi secara berdaulat dalam memilih pemimpin daerah. Sebaliknya, oleh DPRD, kedaulatan dan kebebasan rakyat dikebiri oleh DPRD,” tambah Abdul Rachman.
Akibat biaya tinggi kata Abdul Rachman, ada sembilan (9) daerah di Sumatera Barat, NTT dan daerah lain, yang menyatakan tak punya anggaran. Karena kuras kas daerah, maka banyak kepala daerah tak bisa menyusun program pembangunannya karena tak ada uang. Inilah yang berpotensi korupsi. “Inilah perlunya pilkada dibiayai APBN,” ujarnya.
Untuk itu, DPD RI kerjasama dengan Kemendagri untuk membentuk tim kajian daera-daerah mana yang indeks demokrasinya baik dan tidak. “Dari indeks inilah nanti, kita bisa melihat daerah yang siap pilkada dan tidak,” katanya. (rizal/win)