Oleh Harmoko
ADA yang mengatakan, tugas seorang ibu zaman dulu lebih berat ketimbang sekarang. Anggapan ini tidaklah keliru, jika dikaitkan dengan terbatasnya sarana dan prasarana yang tersedia untuk mendidik putra – putrinya. Masih minimnya fasilitas dalam beraktivitas.
Dulu dan sekarang memang bebeda, beda situasi dan kondisinya. Beda peluang yang tersedia dan tantangan yang dihadapi. Begitu pun tugas yang dihadapi seorang ibu dalam mendidik anak- anaknya.
Seiring perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, kian dituntut kecerdasan seorang wanita, baik yang masih lajang, menjadi calon ibu atau sudah menjadi seorang ibu.
Kecerdasan mengikuti perkembangan teknologi, agar tidak kalah dengan anak- anaknya. Bagaimana mungkin dapat melakukan kontrol, jika ia sendiri tidak memahami apa yang sedang digandrungi buah hatinya.
Cerdas pula mengikuti perkembangan informasi agar dapat menjadi filter bagi beragam info yang dengan mudah didapat.
Di era digital seperti sekarang ini, di mana dunia seolah tanpa batasan ruang dan waktu, beragam info dapat diakses kapan saja, di mana saja, sepanjang memiliki kemampuan untuk mengaksesnya.
Di era kekinian, perlu sentuhan khusus dalam mengedukasi generasi milenial.
Kelembutan, kesabaran, ketelatenan dan kasih sayang yang tak terhingga dari seorang ibu dapat memberi sentuhan tersendiri. Dapat memadukan karakter generasi milenial yang cenderung idealis, praktis, dan kurang menyukai sebuah proses. Generasi instan harus disentuh dengan kesabaran dan kasih sayang. Ini karakter generasi milenial yang saat ini berusia produktif, di atas 20 tahun, di bawah 40 tahun. Belum lagi karakter generasi di bawahnya yang lahir setelah tahun 2.000 an yang sering disebut generasi “Z”.
Harus diakui anak generasi ‘Z’ sering dinamkan “digital native” itu susah diatur, tidak mau mendengar masukan orang yang sifatnya menggurui, kurang bisa bersosialisasi dengan orang yang lebih tua. Makanya pola pengasuhan dan pengontrolan harus disesuaikan.
Wanita era kini, zaman now dituntut kepekaan terhadap perkembangan teknologi, utamanya mengeliminir dampak negatif yang bakal timbul. Itulah sebabnya, wanita era kini, siapa pun dia, apa pun status sosial ekonomimya, profesinya, sebagai calon ibu rumah tangga, perlu terus menerus mengedukasi diri, agar tidak gagap teknologi. Mampu membangun komunikasi secara transparan dengan putra – putrinya, kapan pun, di mana pun dan pada situasi apa pun. Perlakukan anak sebagai sahabat atau teman untuk bisa curhat.
Sedapat mungkin mampu melindungi keluarga dari pengaruh negatif dampak media sosial digital yang sekarang lagi digandrungi.
Mengarahkan anak menggunakan teknoligi secara positif. Bukan sebaliknya ikut menyebarkan hoax dan ujaran kebencian, sikap radikalisme dan intoleransi.
Dan, tak kalah pentingnya adalah menjadi panutan setidaknya bagi diri sendiri, keluarga dan lingkungan sekitar. Keteladanan yang harus diikuti dengan perbuatan, bukan sebatas kata.
Ini sejalan dengan kehendak generasi era kini yang lebih melihat realita, ketimbang ucapan tanpa makna, apalagi tanpa karya nyata.
Meski begitu, siapa pun tak pernah menyangkalnya, bahwa peran ibu tak ada duanya. Di tangan para ibulah, letak dan gambaran masa depan bangsa.
Mari kita hormati wanita (seorang ibu) sebagaimana mestinya. Tempatkan wanita sebagaimana kedudukan dan porsinya.
Sering dikatakan tinggi rendahnya tingkat kemajuan suatu masyarakat ditetapkan oleh tinggi rendahnya tingkat kedudukan wanita di dalam masyarakat itu.
Ini dapat dimaknai bahwa peran wanita menentukan tingkat kemajuan suatu masyarakat, lebih luas lagi bangsa dan negara.
Ada pepatah yang mengatakan wanita adalah tiang negara yang berarti penopang kokoh atau tidaknya suatu bangsa. Makin rapuh kedudukan wanita, maka akan semakin rapuh pula bangunan suatu negara dan sebaliknya. (*).